Pages

Selasa, 01 April 2014

My Soul and Seoul



My First Short Story (that I posted in my blog)>> Cerpen ini mengisahkan tentang remaja Korea Selatan, yang hidup dalam kegelimangan dunia. Tapi, selalu ada yang kurang dalam dirinya. Dia menyadari itu. Dan dia ingin itu segera terisi. Tapi, ketidak tahuan itu tidak dibarengi dengan pengetahuan yang cukup tentang kekosongan yang dia rasakan. Dan begitula, cerita ini dimulai..



Saehaebok manhi badeuseyo (Selamat tahun baru) ”. Sapaan pagi ini berbeda dari biasanya. Bias muka teman – temanku saat saling menyapa di koridor pintu masuk pagi ini terlihat berbeda. Tak ada muka lelah seperti biasanya. Bukan lagi Annyeong Haseyo seperti biasanya. Hari ini adalah malam tahun baru. Dan tahun baru adalah salah satu perayaan besar di negeriku. Korea Selatan.
“ Nan choua….”. terdengar suara Park Mi Sun menyanyikan potongan lagu ‘bu-bi-bu’, dari salah satu idol grup, A-pink.  Itu tandanya dia sedang bahagia, arti lagu itu artinya, aku senang.
“ Mi Sun –ah, nanti malam jadi kita ke MBC Gayo kan?”. Tanya Laura Lee, siswa darah campuran antara  Prancis dan Korea.
“Eung~. Of Course–lah. Aku mau lihat Exo. Kyaaa….” Laura, heboh dengan imajinasinya.
“Kyaa~….” Sambung geng-nya Laura. Mereka tergabung di fanclubnya Exo. Total Hardcore fans.
“ Kita juga mau..”. Yang lain ikut histeris.
“Jarang – jarang kita bisa libur dari Hagwon  ( Course tambahan. Semacam les-lesan) kan..”
Keurigo, Aku tetap masuk di Hagwon hari ini..”. Respon Kim Kyun Hung, siswi yang memang mentargetkan masuk ke Prestigious Kampus, Ivy league, Yale University.
“ Kyun Hung-ah. Tidak capek?”. Tanya Lee Jae Kyung. “ Ivy League?, 3 tahun mendatang? “
Andwae~. That’s our life. Capek tidak capek, itu sudah tujuanku Jae. Btw, kalian tidak belajar untuk History exam nanti? “. Kyun Hung kembali menekuni buku yang tadi dibacanya.
Aku, duduk dibagian belakang, dekat jendela hanya terpekur. Ku pandangi teman-temanku satu per satu. Park Mi Sun, Laura, Jae Kyung, Chae Rin, dan lainnya sedang heboh membicarakan rencana mereka. Pergi ke konser music tahunan yang diadakan oleh salah satu Stasiun TV, MBC. Teriakan khas Fan- Girl terdengar ditengah-tengah pembicaraan mereka.
Di depanku, jarak dua bangku dari tempatku ada Han Kyung, Gae Yong dan beberapa siswa laki – laki sedang belajar. Untuk persiapan ulangan nanti sore. Yah, ulangan nanti sore, History. Hupfh,. Beruntung aku memiliki otak yang lumayan. Aku hanya cukup sekali baca untuk mengingat pelajaran. Cukup buka buku sekali.
Aku berdiri, memandangi jendela. Melihat halaman Daewon yang hari ini berwarna putih, tertutupi salju –memang waktunya musim dingin-. Aku pandangi lagi teman2 dikelasku.
Inilah kami, generasi Haksaeng (siswa) di korea. Bagi aku dan kawan – kawanku, sekolah menjadi rumah kedua kami. Bagaimana tidak, antara 10 jam hingga 16 jam kami ada di sekolah. Belum lagi yang mengambil Hagwon malamnya. Bisa sampai tengah malam baru selesai aktivitas belajarnya, itu belum termasuk mengerjakan PR dari sekolah.  Apalagi di sekolah khusus seperti sekolahku ini, Daewon Foreign Language High School. Sekolah swasata prestigious di Seoul yang memang ditujukan untuk persiapan kuliah di Luar negeri yang  prestigious juga, seperti Ivy league. Kami menghabiskan 15 jam di sekolah. Masuk sekolah jam 8 pagi,  selesai jam 7:45 malam. Hampir dua belas jam. Abis itu kami diwajibkan untuk self study, selama 3 jam di study hall. Praktis jam 11 malam, kami baru bisa pulang dari kampus. Plus mengerjakan PR kami baru bisa tidur antara jam 2 sampai 3 pagi. Yah,  seperti itulah rata- rata kehidupan High School di Korea. Persaingan yang sangat ketat dalam pendidikan dan kehidupan kerja, memaksa dan mewajibkan setiap kami yang memiliki cita – cita menjadi orang sukses untuk belajar lebih dan merelakan masa muda kami untuk belajar dengan system yang sangat menekan kami ini. Pacaran?, no- way. Kami sangat mengenal lawan jenis di sekolah kami hingga kami tak mau memacari mereka. Lagi pula, gak bakal ada yang mau untuk dijadikan pacar di sekolahku ini. Karena kami tak akan sempat menjalani yang namanya Date, nonton di bioskop, dsb. Bahkan kata malas mengerjakan tugas menjadi musuh yang sudah tertanam hingga urat nadi kami. Mau malas?, jangan harap bisa ikut bersaing.
Tapi, bagiku dan teman-teman sungguh ini sangat menekan. Kalo bagi aku,  Aku tak ingin pulang jam 11 malam, aku tak ingin belajar bisnis. Aku tak ingin ada di sekolahku. Aku ingin belajar di sekolah art, yang lebih bebas.  Sekali lagi, huppfh tapi mau bagaimana lagi, keluargaku, salah satu pewaris Shinsegae, Perusahaan jaringan bisnis mall dan Starbucks korea mengharuskan anak-anaknya untuk belajar “dengan bangganya“ di sekolah prestigious. Karena mau tidak mau, perusahaan ini juga akan jatuh ke tangan kami.
“ Lee Hana…..”
“………”
“Lee Hana..”. Aku kaget, ada yang memanggilku sembari menepuk bahuku.
Mwoyaaa… (ihh, ekspresi kurang nyaman)”. Rengekku.  “Kenapa Laura?”
Down to Earth girls”. Laura duduk didepanku. “ Kamu ntar malam rencana kemana?, ga pengen ikutan tah?, ke MBC Gayo?. Rumahmu dekat dengan venue konser ntar lo “
“Emm,,,” ku ketuk-ketukkan telunjukku di meja. “ Kayaknya ndak deh. Aku nda ada tiketnya dan belum reserve tiket. Bukankah masa pembelian udah ditutup?”
Yah-.. Hana. Bukannya tinggal menghubungi koneksi keluargamu and ba-ram-bam… tiket sudah di tangan, bahkan mungkin kamu bisa langsung masuk. Shinsegae gitu loh…”. Celoteh Park Mi Sun dari kursinya.
Aku mengernyitkan alisku. Hmm, bagitulah yang selalu di benak teman- temanku. Menjadi pewaris perusahaan besar sama dengan bisa mendapatkan apa saja yang di mau. Meski, sebenarnya begitulah faktanya.
Nggakah. Nggak minat. Disana yang ada hanya teriakan. Aaaaaa.. Oppa…, uri Oppaa Jjang”. Nah, kalo katanya Halyu Wave sedang diminati di dunia, ini malah tidak berlaku bagiku. Terlalu bising.
Yah, Hana. Kamu sih, belum tau, Besok itu hanya waktu bebas kita. Cuma sehari. Habis itu kita akan kembali ke Hometown (sebutan untuk masing2 departemen di sekolah) kita ini…”. Laura meninggalkan tempatku, kembali ke kelompoknya Mi Sun.
Satu per satu, teman-temanku mulai memasuki kelas, dengan buku bertumpuk di tasnya.
Dan Bel tanda jam sekolah di mulai berbunyi. Oh, God…, dimulailah 15 jam petualangan dengan Daewon - ku. Hupfh,.


Klik. Setelah, setengah jam perjalanan dari sekolah, Akhirnya aku memasuki wilayah Cheongdamong Lux Area ,rumahku yang terletak di Chendamdong, di Gangnam-gu, Seoul. Mobilku berhenti di depan rumah nomor 32. Itulah rumahku. Kulihat Channel, si jam tanganku, sudah jam 11.45 malam.
Jong Min sshi, Sopir pribadiku membuka kan pintu untukku. “ Agasshi (Nona), tuan dan nyonya tadi menitipkan pesan bahwa malam mini mereka tidak akan pulang ke rumah. Karena mereka sedang menghadiri new year’s eve di Macau”
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Sejak kapan mereka tahun baru ada di rumah?.  Pikirku.  Dan sejak kapan pula mereka bakal menyapaku ketika aku pulang dari sekolah?.
“ Selamat datang Nona Hana…”. Sapa Bibi Hye Sung, kepala asisten rumah tangga di rumahku. Ada 9 orang dibawahnya plus 3 gardener dan 3 sopir untuk Umma, Appa, dan untuk aku. Bersama 15 orang itulah aku hidup sejak bayi. Dan yang menjadi Umma keduaku sejak kecil adalah Bibi Hye Sung.
“ Nona, makan malam dulu. Kami sudah siapkan..”
Aku menoleh ke Bibi Hye Sung lalu ke meja makan yang telah penuh dengan makanan dan buah–buahan. Tapi, entah mengapa tak ada selera makan dalam diriku. Namun, melihat bagaimana ketulusan Bibi Hye Sung dan Bibi-bibi lainnya, tak tega jika aku harus menyia-nyiakan usaha mereka.
“ Iya, Bi. Aku mandi dulu. Bi Hye Sung dan yang lain silahkan istirahat saja. Seperti biasanya”. Ku paksakan senyum. Lalu aku menaiki tangga menuju kamarku. Di kejauhan mulai terdengar hingar bingar merayakan tahun baru. Aku ke Balkon kamarku yang lumayan luas, Seoul tak ada bintang hari ini.
Hangatnya air mandi lumayan menyegarkan kepenatan dalam diriku. Seoul sangat dingin hari ini, aku harus memakai baju dan jaket rangkap untuk menghangatkan diriku.  Thermometer ruanganku menunjukkan -5oC.
Aku melihat ke makanan didepanku. Menu utama hari ini adalah seafood. Ada Beansprout and Prawn Soup kesukaanku, Stir Fried Kimchi, beberapa seafood lainnya dan buah serta Hot Chocolate yang sangat cocok dengan Winter.
Di luar dentuman bunyi kembang api sudah mulai terdengar. Kulihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul 12 malam lewat. Hari ini sudah 2014.
“ Selamat makan Nona… apakah ada yang lain yang Nona inginkan?”. Tanya Bibi Hye Sung dengan senyum tulusnya. Dibelakangnya ada Bibi In Ha, Bibi Jang Sil, dan Bibi Seul Hwa. Mereka bertiga di bagian Food and Drink di rumahku.
 Duh, betapa aku menginginkan pertanyaan itu datang dari Umma atau Appa. Aniyo, (tidak). Ini sudah cukup”. Kuminum hot chocolate favoriku, lumayan mendamaikan batinku. “ Ohya, Bibi katanya mau ada New Year party dengan maid yang lain?, silahkan Bi. Aku makan sendiri saja” . Sebenarnya menurut protocol rumah tangga di rumahku, mereka harus menemani aku makan. Tapi, aku tahu mereka sudah capek mengurusi rumah yang sangat lebar ini. Jadi, aku tak pernah mau untuk mereka temani.
“Iya Non. Kami permisi dulu..”
Aku anggukkan kepalaku. Kalaupun mereka meninggalkan aku sendiri di rumah ini, tak apa. Perumahan ini memiliki tingkat keamanan yang sangat ketat. Belum lagi rumahku dengan tingkat security yang canggih. 
Aku mulai mencicipi beansprout and prawn soupku. Seenggaknya meskipun aku tidak mau untuk makan nasi, kucoba habiskan soup dan sedikit kimchi. Sambil menggigit prawn, Kulihat sekeliling ruanganku. Kosong, sepi. Yang terdengar hanya suara konser yang diadakan di dekat rumah. Andai saja 2 oppa-ku (Oppa : kakak. Panggilan dari perempuan untuk laki-laki yang lebih tua) tidak sekolah di Harvard dan Columbia University, pasti rumahku hari ini rame. Han Soo Oppa… Han Ki Oppa…. I am alone. Again.
Perasaan ini datang lagi. Perasaan sepi. Perasaan kosong. Seakan-akan di dada ini ada sesuatu yang kosong dan tidak utuh. Tetapi ketidak utuhan itu malah membuat sesak. Membuatku tak tahu apa yang harus aku ekspresikan. Perasaan ini menginginkan sandaran tempat aku bergantung. Tetapi, siapa kali ini yang akan menjadi sandaranku. Perasaan ini membuatku bingung. Sepi, benar-benar kesepian aku. Dan rasanya aku ingin menemukan sesuatu yang bisa setiap saat ku jadikan sandaran. Sesuatu yang sangat-sangat bisa diandalkan. Aku tidak tahu itu apa…
Tak terasa, ada bulir air mata yang terjatuh. Oppa….. Aku sangat kangen dengan mereka berdua. Mereka berdua adalah pengganti umma dan appa-ku. Meskipun, aku tahu kasih sayang Umma dan Appa tak pernah tergantikan oleh apapun. Hanya saja, aku tak pernah tahu bagaimana bentuk kasih sayang itu. Aku hanya tahu orang tuaku sayang denganku dengan bukti mereka mau untuk melahirkan aku ke bumi. Aku tahu, mereka sayang padaku melalui uang yang selalu mereka berikan dan materi lainnya. Rumah, Mobil, kepuasan materi, uang bulanan yang bahkan lebih dari sangat cukup, sekolah prestigious, kemudahan mendapatkan apapun. Kecuali satu, perhatian Umma dan Appa. Itu yang sangat sulit untuk ku dapatkan.
Dinner ku sudah selesei. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Dentuman bunyi kembang api masih terdengar jelas di luar. Aku berhenti di depan kolam renang.  Tak ada salahnya aku menikmati udara di sekitar kolam renang dulu. Aku sangat penat. Sembari melihat kerlip kembang api di langit seoul yang gelap. Riak air kolam yang tenang dan bening, serta hijaunya tetumbuhan di sekitar kolam renang, menyegarkan mataku. Sedang di langit, terlihat cahaya warna-warni kembang api.
Tapi, tidak dengan hatiku…., ada yang kosong. Dan kekosongan ini, perih sekali…

******


Hari itu adalah hari uang tahunku yang ke-8. Shilla hotel, hotel mewah di pusat kota Seoul menjadi pilihan orang tuaku untuk merayakan ultahku. Masih terbayang jelas dalam benakka bagaimana mewahnya pestaku saat itu. baju yang dipesan khusus dari designer ternama. Lee Seung Gi, yang saat itu menjadi idol,  menjadi MC ulang tahunku. Badut, sulap dan atraksi khas anak-anak lain turut memeriahkan ulang tahunku. Kue Brownis Tart coklat dan strawberry bertingkat 8 sebagaimana permintaanku berada di atas panggung elegan yang didesain serba putih dan pink. Ruangan yang bertabur gelas Kristal, kursi dan meja yang ditata dengan elegannya untuk ketgori anak-anak orang kaya. Karpet merah yang disipakan dari lantai 1. Padahal acara ini diadakan di lantai 23, puncak Shilla hotel. Betapa bahagianya saat itu, karena 2 oppa-ku yang berada di kanan dan kiriku yang setia menjagaku, menunggu hingga pesta bisa dimulai.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Seharunya pesta sudah bisa dimulai jam 5 sore. Para tamu mulai gelisah. Karena mayoritas mereka adalah anak-anak seusiaku, ruangan sudah mulai dikacaukan oleh tingkah mereka. Para nanny mereka mulai kebingungan untuk menenangkan mereka. Bahkan ada yang membuat ruangan itu menjadi lapangan arena berlari-larian. Hamper saja aku yang berada di dekat kue tart ditubruk oleh mereka dan menganai kue tart tingkat 8, kalo saja tak ada Han Ki Oppa yang menghalangi anak-anak sebayaku itu. kenapa pesta itu belum dimulai, padahal undangan sudah hampir datang semua?. Karena sang pemilik acara belum hadir. Ya, umma dan appa-ku lah yang ditunggu. Mereka, saat itu sudah berjanji untuk hadir di ultahku. Dan –saat itu- aku percaya mereka.
Setelah menungu hingga 30 menit tak ada kabar dari orang tuaku, karena mereka juga telah dihubungi oleh bibi Hye Sung dan Jong Min Ajusshi tak ada jawaban, akhirnya pestaku terpaksa dimulai. Saat itu, hatiku sangat hancur. Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Aku saat itu hanya mengikuti langkah kaki dan gandengan tangan Han Ki Oppa dan Han Soo oppa yang membimbingku. Bahkan saat memotong kue, merekalah yang menggerakkan tanganku. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana mengkespresikan kekecewaanku, yang saat itu bahkan aku masih usia 8 tahun.
Setelah potong kue, aku langsung melarikan diri dari ruangan yang membuat hatiku semakin sesak itu. Aku berlari hingga aku tidak tahu dimana. Saat itu, meski masih anak-anak, aku tidak tahu mengapa. Aku merasakan sakit hati yang luar biasa karena dikecewakan orang tuaku. Aku sudah berharap besar bahwa orang tuaku akan hadir. Aku sudah 6 bulan tidak bertemu mereka bahkan dengan bayangan mereka. Saat itu yang kupikirkan adalah aku hanya ingin kado terindah dan terspesialku adalah bisa melihat orang tuaku dan mendengarkan mereka mengatakan cintanya padaku. Tapi, itu semua hanya imajinasi di usia 8 tahunku saja. Tak ada kata yang bisa keluar dari diriku yang bisa mengekspresikan rasa sakitku itu. Mungkin sakitnya seperti ketika kakiku terpeleset, keseleo ketika aku mengikuti kursus fashion saat belajar jalan yang elegan yang membuatku tidak bisa jalan hingga 1 bulan dan harus di gips. Tidak, bahkan lebih dari itu. sakit itu ada di dada. Yang membuat dadaku sesak, hingga kepalaku terasa berat dan ada energi yang harus ku luapkan keluar, tapi sekali lagi aku tak bisa. Dan saat itu, aku hanya terdiam. Aku ingin menangis, tapi tak mampu air mataku keluar.
Setelah beberapa lama aku berada di area bersalju, di kejauhan kulihat 2 Oppa-ku yang berlarian kearahku. Mereka langsung memelukku. Di saat itulah aku melihat dan menyaksikan 2 Oppa-ku menangis. Kami, bertiga berpelukan. Hanya kehangatan pelukan kami bertiga yang bisa menjelaskan bagaimana perihnya hati kami. Di kejauhan kulihat Bibi Hye Sung dan Jong Min Ajusshi menghapus air mata mereka.
“Oppa….., apakah salah jika aku menginginkan Umma dan Appa hadir?. Aku kangen mereka Oppa…..”. aku berbisik, kami masih berpelukan.
“Enggak..”. Balas Han Ki Oppa.
Setelah adegan berpelukan itu, kami bertiga pulang. Dan ketika di rumah itulah aku mendapati kado terpahit dalam hidupku.
Umma dan Appa dirumah. Mereka menanti kami bertiga di ruang tamu dengan seorang Imo (Tante) dan Samcheon (Paman). Dan ternyata…mereka adalah kekasih Umma dan Appa. Umma dan Appaku menjelaskan kepada kami bertiga masing-masing dari mereka telah memiliki kekasih. Karena mereka dulu menikah bukan karena keinginan, tetapi karena dijodohkan. Meskipun begitu, mereka tetap setuju untuk menjaga pernikahan mereka. Karena mereka butuh image untuk menjaga Shinsaege.
Saat itu, 2 hanya terdiam. Mereka langsung mengajakku ke kamarku. Dan disanalah, kami menangis bertiga. Aku menangis karena melihat 2 Oppaku yang memelukku dengan menangis. Dan aku, 8 tahun saat itu masih belum menyadari apa maksud perkataan kedua orang tuaku, yang setelah aku berumur 13 tahun, baru aku ketahui bahwa keluarga kami telah retak..dan itulah yang membuat 2 Oppaku menangis kala itu…. Salju diluar pun turun dengan begitu derasnya. Sederas air mataku dan 2 Oppaku.


***
Salju masih turun dengan pelannya. Membuat suasana tahun baru korea semakin indah dan elegan. Aku terus berjalan. Hingga aku baru sadar, aku sudah sampai di Seoul Subway Station Line 2. Tujuan yang tak pasti membuatku bingung harus kemana. Akhirnya terbesit dalam benakku, Itaewon. District yang penuh dengan turis internasional dan area yang penuh dengan kesenangan. Sepertinya memang aku harus mencari sedikit refreshing untuk kepenatanku. Aku tak ingin terjebak dengan kesedirianku disini.
Perjalanan dari Seoul ke Itaewon hanya butuh waktu 5 menit. Begitu sampai di Itaewon Station, kini giliraku yang kebingungan mau kemana. Banyak turis berlalu lalang kesana kemari. Nampaknya mereka juga sedang menikmati liburan.
Hupfh.., hidup tanpa tujuan itu memang sungguh tak mengenakkan. Dan itulah yang terjadi padaku. Sebagus apapun hasil yang kucapai akan suatu hal, aku tak pernah puas. Entah karena aku senantiasa menginginkan perhatian orang tuaku atau karena apa. Yang, jelas aku tak ada gambaran jelas tentang kehidupanku ini. Aku ingin ini dan itu hanya butuh menggesek credit card unlimitedku. Aku tak tahu untuk apa aku sekolah. Bahkan aku tak tahu apa tujuanku dalam kehidupan ini. Kenapa aku ada? untuk apa aku ada?...
Kini aku sampai di tengah2 Itaewon. Turis-turis masih berlalu lalang, mayoritas dengan backpacknya. Karena hari ini libur, jalanan Itaewon lebih rame dari biasanya. Distrik ini memang terkenal di kalangan orang luar negeri, bahkan daripada korea selatan itu sendiri. Aku sempatkan mampir membeli hot chocolate di stand minuman terdekat.
Dari tempatku berdiri kini aku bisa melihat orang lalu lalang, bercakap-cakap dan menikmati salju di Itaewon. Ada sebuah bangunan yang menonjol, terlihat sebuah kubah yang menonjol daripada bangunan lainnya yang lebih rendah. Mereka menyebutnya Seongweong (Mosque). Tempat ibadah bagi orang islam. Aku sendiri juga tak tahu islam itu apa. Sebenarnya, setiap kali aku ke Itaewon, aku penasaran dengan bangunan ini karena bangunan ini begitu menonjol dibandingkan dengan bangunan disekitarnya.  Kenapa hanya orang-orang tertentu saja yang memenuhi seongweong ini?. Kenapa para turis asing itu tidak mencoba memasuki seongweong ini?. Padahal, hamper semua dari  mereka menjelajahi seluruh tempat di Itaewon.
 Aku pandangi kubah masjid itu, tak ada yang special. Tetapi katanya teman-temanku bangunan ini adalah tempat sakral bagi orang islam. Seperti kuil bagi orang budha mungkin?. Aku mendekat kearah seongweong. Bangunan ini bentuknya aneh daripada bangunan khas korea. Bentuknya berkubah dengan cat warna putih. Dan ada tulisan arab didepan pintu masuk masjid ini yang harus melewati tangga.  Kenapa nama masjid ini tidak memakai Hangeul?.Aku mendekat lagi ke Seongweong ini, kini aku sudah berada di depannya. Sebenarnya apa arti bangunan ini?. Ada beberapa laki-laki yang memasuki masjid, mereka melepaskan sepatu mereka. Laki-laki yang memakai pakaian panjang menyerupai hanbok, tetapi hanya 1 warna, putih – itu apa? - dan perempuan yang memakai topi?, atau penutup rambut?, yang tadi berjalan bersama berpisah menuju pintu yang terpisah di lantai dasar masjid, yang sebenarnya lantai 2, dalam asumsiku.
Aku duduk di kursi depan masjid. Mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan. Aku pandangi masjid itu lagi.
Deg,,,
Rasa itu, rasa aman itu…… Ada sebuah chemistry yang menarikku dan menenangkan hatiku. Chemistry itu menjadikan aku merasa aman dan terlindungi. Melihat masjid didepanku, memberiku kehangatan yang menyelimuti. Perasaan tenang melihat masjid itu menjadikan ku tak mampu melepas menatap tajam masjid di seberang ku itu.
Melihatnya bagai mendapatkan kasih sayang yang akan menjadikan seseorang terjamin bahwa dia akan selamanya mendapatkan kehangatan itu. Kasih sayang yang senantiasa aku rindukan dan ingin aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Tidak, bahkan lebih dari itu. Ada sebuah aliran dalam diriku yang kurasakan berusaha menyentuh setiap sarafku dan menenangkan setiap saraf yang disentuhnya. Rasa ini, ketenangan dan kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya, begitu menenangkan batinku.
Mataku masih memandangi masjid di depanku. Tiba-tiba ada suara dari masjid yang berbunyi. Suara apa itu?. suara itu berasal dari pengeras suara yang ada di masjid itu. dan setahuku ini bukan bahasa korea, tetapi bahasa arab.
Allahu Akbar – Allahu Akbar..
Allah, Allah… apa atau siapa itu?, mereka sedang mencari seseorang atau mengumumkan sesuatu?. Kenapa hatiku berdebar dan bergetar mendengar sebutan Allah?. Kupandangi tanganku dan keduanya bergetar. Ada apa ini?.

Allahu Akbar-Allahu Akbar..
Ada apa ini?, kenapa air mataku keluar.
Allah?. Apa dan siapa itu?. Tak kurasakan air mataku sudah keluar dan tak bisa kuhentikan. Berikutnya aku telah sesenggukan.
Kulihat disekitar, sepertinya orang lalu-lalang mulai melihat keanehanku. Aku segera berlari ke arah masjid itu, yang kini sedang dimasuki oleh laki-laki dan perempuan yang berpakaian aneh. Sepertinya bukan berasal dari Korea.
Allahu Akbar.. Allahu Akbar…
Tangisku sudah tak bisa kukendalikan. Ada apa ini?. aku kenapa?. Ada yang menyesak dalam hatiku ketika panggilan Allah itu diserukan, tapi sesak itu seakan memaksa beban penat dan batinku yang selama ini terpendam keluar. Membebaskanku dari penjara sakit batinku selama ini. tapi rasa sesak ini tak berhenti. Air mataku terus mengalir…
Agasshi, apakah nona baik-baik saja?”. seorang perempuan, yang aku kira seumur anak kuliahan menghampiriku. Dia berpakaian aneh juga.
“A-a-an…I hik-hik- o (tidak). N-ngg-nggak…”. Aku menjawab dengan tangis sesenggukan.
“Kenapa anda menangis?. Apakah ada yang menyakiti anda?. Ato anda kehilangan sesuatu?”.
“……” aku masih tak menjawab. Sesakku dan tangisku masih belum bisa ku kendalikan.
Perempuan tersebut mengajakku duduk di tangga masjid. Kemudian dia memberiku sebotol minuman mineral. “ Minumlah dulu. Biar lebih tenang”.
“Teri-Ma..Ka—sih”. Dengan sesenggukan ku ambil minuman tersebut.
Setelah meneguk air segar dan aku bisa menenangkan diriku. Kini suara di pengeras itu telah terhenti. Entah apa ini, aku merasakan ketenangan yang luar biasa ketika aku mendengar suara tadi. Mungkin Unni (Kakak) di depanku ini tahu apa maksudnya suara tadi. Karena dia berpakaian seperti kebanyakan perempuan yang memasuki masjid ini.
Unni…?”.
Dia tersenyum, dengan senyuman yang tulus yang memancarkan kehangatan bagi siapa yang menerimanya. “ Nama saya Aila Kim. Panggil saja Aila. Kamu?”. Aila Unni mengulurkan tangannya.
“Saya Lee Hana, Hana”.
“Emm..Unni, boleh saya tanya sesuatu?”. Aila Unni mengangguk.
“Tadi, suara dari sana..”, Aku menunjuk pengeras suara yang ada di pojok atap masjid, “ Suara apa itu Unni?”
“Oh, itu namanya adzan Hana. Bentar, kalo boleh Unni tahu Hana punya kepercayaan?”
Aila Unni pelan2 menanyaiku. Topic kepercayaan atau agama memang agak sensitive disini. Karena banyak dari orang korea yang tidak beragama ato tidak percaya Tuhan.
            Aku hanya menggelengkan kepalaku, Aku tidak tahu agamaku apa. Aila Unni tersenyum. Seingatku aku tidak pernah ke kuil atopun ke gereja selama ini, begitu juga keluargaku.
“Adzan itu tanda panggilan bagi kaum muslim untuk menyeru mereka sudah saatnya sholat. Sholat itu sendiri adalah cara kita beribadah atau menyembah kepada Allah. Tuhan kita, Umat Islam…”
Ketika Aila Unni menyebut nama Allah, ada ketenangan di hatiku. Apa yang dijelaskan Aila Unni masih sangat asing bagiku. Dan tapi anehnya menarikku untuk semakin mengetahuinya.
“Mungkin Hana masih belum banyak mengetahui tentang islam. Tapi yang jelas, kalo Hana mau tahu lebih lanjut, Unni bisa bantu…”
Aku mengernyitkan dua alisku, tanda aku sedang mencerna apa yang disampaikan oleh orang yang baru ku kenal ini,,
“Oh, maksudnya Unni, bukannya Unni mengajak Hana ke yang aneh-aneh...”, seakan-akan mengetahui aku sedang berpikir, Aila Unni segera menyela,  “Tapi, di masjid ini memang biasanya rutin ada orang yang pengin belajar islam. Dan kami juga menyediakan fasilitas bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang islam. Jadi, kalo Hana mau tahu lebih lanjut, boleh nanti kita ngobrol”. Aila Unni mengakhiri penjelasannya dengan senyuman yang membuatku bisa merasakan ketulusannya. Hidup ditengah keglamoran membuatku disapa dengan senyuman palsu orang-orang kaya gila harta itu. Jadi, ketika ada yang tersenyum tulus padaku, aku bisa merasakannya.
Aku diam sejenak, mencoba meresapi apa yang ditawarkan oleh Aila Unni. Aku pandangi tulisan arab di pintu masuk masjid ini, disitulah aku mantap untuk mengetahui tentang islam. “Em, Unni, boleh Hana minta Nomor Unni? Ato Ka-Talk (Kakao Talk)?”
“Boleh Hana, dengan senang hati”. Kami kemudian saling bertukar nomor dan Pin KaTalk.
“Ohya Hana, forum yang Unni bicarakan tadi rutin diadakan setiap hari minggu. Mulai jam 8 hingga siang jam 1an. Nanti kalo Hana mau ikut, Hana hubungi Unni saja ya”
Aku mengangguk. “ Unni, kalo boleh tahu Unni masih belajar dan tinggal dimana?”
Aila Unni kembali tersenyum, senyuman yang membuatku merasa sangat dihargai olehnya. “ Unni kuliah semester 4 di Seoul University. Dan Unni tinggal di Dorm di sana”
Aku membelalakkan mataku. Siapa siswa sekolah khusus akademik di Korea yang ga ingin ke Seoul University, salah satu kampus unggulan Korsel.
“Hana juga ingin kesitu?”
Jujur, aku tak tahu kemana destinasiku setelah nanti lulus dari Daewon. Aku hanya tersenyum pada Aila Unni.
Oh,..” seakan mengerti kondisiku, Aila Unni menepuk-nepuk punggung tanganku, tanda memberi dukungan.
“Hana, Unni mau masuk ke dalam dulu. Ini waktunya bagi kami, umat islam untuk sholat. Tadi sudah dipanggil kan?. Unni sholat dulu. Hana mau kemana setelah ini?”
Tidak tahu. “Oh, Aku mau pulang UnniUnni masuk dulu saja ke masjid. Nanti Hana segera hubungi Unni
“Oke, hati-hati ya Hana. Semoga kita dipertemukan kembali”. Aila Unni menjabat tanganku lalu masuk ke masjid dengan senyuman tetap tersungging. Duh, damainya hidup Aila Unni. Senyuman selalu menghiasi wajah damainya.
Aku menatap masjid itu lagi, tepatnya pada huruf arab yang terukir di pintu masuk –aku tidak tahu apa bacanya- . Tak terasa ada senyum yang terukir di wajahku.
            Aku melangkah menuruni tangga masjid ini. Ada  perasaan ringan dan beban yang terangkat. Beban yang begitu lama menggelayuti hati dan pikiranku. Tapi, aku sendiri juga bingung untuk menyebutkan pikiran dan beban macam apa itu. yang jelas, aku bahagia dan senang berada di masjid ini. Dan untuk pertama kalinya aku tahu tujuanku.
Belajar islam. Segera.

******
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tinggal sejam lagi self study akan selesei. Hari ini hari sabtu. Aku sudah tidak sabar untuk menanti datangnya hari minggu.
Sudah seminggu ini sejak aku berada di masjid Itaewon bersama Aila Unni. Selama itu aku selalu berhubungan dengan Aila Unni. Sunguh sangat mengenakkan berkomunikasi dengan Unni. Aku juga jadi tahu banyak tentang islam. Selama di sekolah aku selalu menyempatkan untuk membaca e-book tentang islam yang dikirimkan oleh Aila Unni. Dari e-book itulah aku tergambar bagaimana islam itu.
Pelan-pelan, aku tahu apa itu islam. Sebuah agama, eh bukan tapi juga aturan kehidupan yang berasal dari Allah. Semua aturan kehidupan ada di islam. Dan seharusnya memang dilaksanakan oleh seluruh ciptaan Allah. Dan, aku tahu sekarang, Allah itu adalah pencipta seluruh manusia yang mengetahui bagaimana manusia itu sebenarnya. Sekarang ketika aku menyebut nama Allah ada rasa tenang yang luar biasa dalam diriku. Yang mungkin seminggu lalu aku masih bertanya-tanya sebenarnya Allah itu apa dan siapa –ketika aku mendengar adzan di masjid Itaewon-. Allahlah yang menciptakan aku dan keluargaku dan seluruh apa yang ada di dunia. Dan islam itu sangat banyak yang dipelajari. Tapi itu justru yang membuatku bersemangat untuk mempelajarinya.
Inilah untuk pertama kalinya aku tahu tujuan aku diciptakan, aku tahu aku diciptakan untuk mengabdi pada Allah dan hidup di dunia sesuai aturanNya –yang tidak akan pernah menyakiti atau mendustai manusia, karena dia tahu yang terbaik-. Inilah untuk pertama kalinya aku mengerti kenapa aku hidup. Aku merasa menemukan hidupku yang baru. Hidup yang selama ini aku cari-cari. Aku sangat senang bisa dipertemukan dengan islam dan bertemu Aila Unni yang selalu mampu menmbuatku nyaman dan senang dengan jawaban-jawaban yang dia berikan atas pertanyaan-pertanyaanku.
Mungkin aku masih baru mengenal islam, jadi banyak pertanyaan-pertanyaan simpel yang ku ajukan pada Aila Unni. Sholat, itu apa, Zakat, Puasa dan mengapa puasa?, kenapa harus menutup seluruh tubuh, kenapa islam terlihat eksklusif. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bisa Aila Unni jelaskan melalui video chat yang senantiasa kami lakukan setiap aku pulang dari sekolah. Jam 12 malam. Aku juga kadang merasa aneh, mengapa tak ada kelelahan dari diriku ketika aku belajar islam. Tak ada kata menyerah, atau capek yang terbesit dalam benakku ketika aku belajar islam dan membaca setiap materi dari e-book yang dkirimkan oleh Aila Unni. Semua ini sangat berbeda ketika aku belajar untuk sekolahku atau ketika aku beraktivitas lainnya. Aku tidak tahu orientasiku akan kemana dan mengapa aku melakukan aktivitas tersebut.
Dan sekali lagi, aku sangat merasakan perbadaan ketika aku belajar islam dan mempelajari apa yang harus aku lakukan dan apa yang tidak boleh ku lakukan.
Ya, aku mau dan akan menjadi muslim segera. Sempat terpikir dalam benakku mungkin aku akan menemuai berbagai macam kesulitan yang akan kuhadapi. Orang tuaku, dua Oppaku, teman-temanku, keluarga besarku, dan orang-orang disekitarku dan terlebih lagi posisiku sebagai salah satu pewaris perusaan kelas atas di KorSel ini. Tapi semua itu akan segera hilang dari diriku ketika ku desiskan nama Allah. Ada kesejukan – aku tidak tahu menyebutnya bagaimana- di dadaku, seperti ada embun yang mengaliri aliran darahku hingga menjadikan aku tenang dan rileks kembali.
Aku harus siap. Setiap yang dijalani manusia akan ada resikonya. Dan meskipun aku tahu baru sedikit, akan ada surga dan neraka yang menjadi pembalasan bagi perbuatan manusia.
Mungkin aku belum tahu banyak tentang islam.., aku mungkin belum tahu hingga sampai bagaimana islam katanya dulu pernah berdagang dengan orang-orang korea. Tapi, dengan pengetahuanku yang sedikit ini aku akan terus berusaha melapangkannya.
Dan aku yakin, sangat yakin. Aku akan dan harus menjadi seorang muslim. Segera.

***
Spring, 23 Maret…Pukul 05.00 pagi
            Musim semi, Cherry blossom (sejenis sakura-nya korea) mulai bermekaran. Aku menyusuri jalan menuju ke Masjid Itaewon. Sudah hamper 3 bulan aku belajar tentang islam. Ada banyak yang tidak aku mengerti tentang islam yang membuatku harus berlama-lama di untuk belajar tentang islam. Terlebih lagi aku tidak tahu sama sekali tentang huruf arab. Hurufnya Al-Qur’an, petunjuk manusia dari Allah. Jadi selama 3 bulan ini akubenar-benar belajar ekstra keras untuk memahami islam dan ajarannya. Agar ketika aku menjadi muslim benar-benar mampu menjadi muslim yang utuh. Meski untuk itu aku juga harus berkejaran dengan ujian akhir High Schoolku dan Try out Ujian masuk kampus internasional di luar korea –yang memang diselenggarakan setiap tahun oleh Daewon-. Berat memang, capek dan lelah. Tapi, ketika aku mempelajari islam, cukup menjadi penghilang penat dan lelahku.
            Tiga bulan kehidupanku ku lalui berbeda dari biasanya. Meski mengenai keluargaku, masih sama. Umma dan Appa baru pulang sekali dari tahun baru, itu pun hanya sehari. Dua oppa-ku yang masih betah di kampusnya daripada pulang ke korea. Sekolah yang terus menekan kami menjadi orang-orang dengan nilai unggulan minimal 98 di setiap mata pelajaran. Yang berbeda adalah ada tujuan yang jelas yang ingin aku capai yang membuatku semakin semangat belajar islam.
Aku kini telah sampai di depan masjid Itaewon. Di tangga yang 3 bulan lalu aku memandangi huruf arab yang terukir di atas pintu masuk. Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Kini aku sudah membacanya dan aku sudah lega.
“Assalmualaikum..”. aku masuk kedalam masjid. Ada 10 orang yang menungguku. Mereka adalah orang-orang yang selalu membantuku untuk belajar islam. Diantaranya ada Aila Unni.
”Alaikumussalam..”. Aila Unni menyambutku dengan pelukan penuh haru. Ada kebahagiaan yang terpancar dari mata aila Unni.
Setlah menunggu kira-kira 10 menit, aku berhadapan dengan seorang Seongsaengnim, atau Ustadz. Kupejamkan mataku dan kutoleh ke kananku, ada Aila Unni disana. AIla Unni mengangguk, aku pandangi tulisan Allah diatas tempat imam. Bismillah…
“Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah..Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah
Aku bersaksi tiada Sesembahan selain Allah dan Aku bersak si bahwa hanya Muhammad sebagai Utusan Allah..
Aku tidak tahu mengapa air mataku pecah dan aku segera memeluk Aila Unni yang ikut terharu juga. Samar-samar aku mendengar beberapa orang yang hadir di masjid ini meneriakkan takbir.
23 Maret 2013. Me, Lee Hana being a muslim. Dan inilah perjalanan terindah dalam hidupku yang pernah ku lalui. Selain terlahirnya aku ke dunia ini..
 


Rabu,090414 05:37 | HD
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar