My First Short Story (that I posted in my blog)>> Cerpen ini mengisahkan tentang remaja Korea Selatan, yang hidup dalam kegelimangan dunia. Tapi, selalu ada yang kurang dalam dirinya. Dia menyadari itu. Dan dia ingin itu segera terisi. Tapi, ketidak tahuan itu tidak dibarengi dengan pengetahuan yang cukup tentang kekosongan yang dia rasakan. Dan begitula, cerita ini dimulai..
“Saehaebok manhi badeuseyo
(Selamat tahun baru) ”. Sapaan pagi ini berbeda dari biasanya. Bias muka
teman – temanku saat saling menyapa di koridor pintu masuk pagi ini terlihat
berbeda. Tak ada muka lelah seperti biasanya. Bukan lagi Annyeong Haseyo seperti biasanya. Hari ini
adalah malam tahun baru. Dan tahun baru adalah salah satu perayaan besar di
negeriku. Korea Selatan.
“ Nan choua….”.
terdengar suara Park Mi Sun menyanyikan potongan lagu ‘bu-bi-bu’, dari salah
satu idol grup, A-pink. Itu tandanya dia
sedang bahagia, arti lagu itu artinya, aku senang.
“ Mi Sun
–ah, nanti malam jadi kita ke MBC Gayo kan?”.
Tanya Laura Lee, siswa darah campuran antara
Prancis dan Korea.
“Eung~. Of
Course–lah. Aku mau lihat Exo. Kyaaa….” Laura, heboh dengan imajinasinya.
“Kyaa~….”
Sambung geng-nya Laura. Mereka tergabung di fanclubnya Exo. Total Hardcore fans.
“ Kita juga
mau..”. Yang lain ikut histeris.
“Jarang –
jarang kita bisa libur dari Hagwon ( Course tambahan. Semacam les-lesan) kan..”
“Keurigo, Aku tetap masuk di Hagwon hari
ini..”. Respon Kim Kyun Hung, siswi yang memang mentargetkan masuk ke
Prestigious Kampus, Ivy league, Yale University.
“ Kyun
Hung-ah. Tidak capek?”. Tanya Lee Jae Kyung. “ Ivy League?, 3 tahun mendatang?
“
“ Andwae~. That’s our life. Capek tidak
capek, itu sudah tujuanku Jae. Btw, kalian tidak belajar untuk History exam nanti? “. Kyun Hung kembali
menekuni buku yang tadi dibacanya.
Aku, duduk
dibagian belakang, dekat jendela hanya terpekur. Ku pandangi teman-temanku satu
per satu. Park Mi Sun, Laura, Jae Kyung, Chae Rin, dan lainnya sedang heboh
membicarakan rencana mereka. Pergi ke konser music tahunan yang diadakan oleh
salah satu Stasiun TV, MBC. Teriakan khas Fan- Girl terdengar ditengah-tengah
pembicaraan mereka.
Di depanku,
jarak dua bangku dari tempatku ada Han Kyung, Gae Yong dan beberapa siswa laki
– laki sedang belajar. Untuk persiapan ulangan nanti sore. Yah, ulangan nanti
sore, History. Hupfh,. Beruntung aku
memiliki otak yang lumayan. Aku hanya cukup sekali baca untuk mengingat
pelajaran. Cukup buka buku sekali.
Aku berdiri,
memandangi jendela. Melihat halaman Daewon yang hari ini berwarna putih,
tertutupi salju –memang waktunya musim dingin-. Aku pandangi lagi teman2
dikelasku.
Inilah kami,
generasi Haksaeng (siswa) di korea.
Bagi aku dan kawan – kawanku, sekolah menjadi rumah kedua kami. Bagaimana
tidak, antara 10 jam hingga 16 jam kami ada di sekolah. Belum lagi yang
mengambil Hagwon malamnya. Bisa
sampai tengah malam baru selesai aktivitas belajarnya, itu belum termasuk
mengerjakan PR dari sekolah. Apalagi di
sekolah khusus seperti sekolahku ini, Daewon Foreign Language High School.
Sekolah swasata prestigious di Seoul
yang memang ditujukan untuk persiapan kuliah di Luar negeri yang prestigious
juga, seperti Ivy league. Kami menghabiskan 15 jam di sekolah. Masuk
sekolah jam 8 pagi, selesai jam 7:45
malam. Hampir dua belas jam. Abis itu
kami diwajibkan untuk self study, selama 3 jam di study hall.
Praktis jam 11 malam, kami baru bisa pulang dari kampus. Plus mengerjakan PR
kami baru bisa tidur antara jam 2 sampai 3 pagi. Yah, seperti itulah rata- rata kehidupan High School di Korea. Persaingan yang
sangat ketat dalam pendidikan dan kehidupan kerja, memaksa dan mewajibkan
setiap kami yang memiliki cita – cita menjadi orang sukses untuk belajar lebih
dan merelakan masa muda kami untuk belajar dengan system yang sangat menekan
kami ini. Pacaran?, no- way. Kami
sangat mengenal lawan jenis di sekolah kami hingga kami tak mau memacari
mereka. Lagi pula, gak bakal ada yang
mau untuk dijadikan pacar di sekolahku ini. Karena kami tak akan sempat
menjalani yang namanya Date, nonton di bioskop, dsb. Bahkan kata malas
mengerjakan tugas menjadi musuh yang sudah tertanam hingga urat nadi kami. Mau
malas?, jangan harap bisa ikut bersaing.
Tapi, bagiku
dan teman-teman sungguh ini sangat menekan. Kalo bagi aku, Aku tak ingin pulang jam 11 malam, aku tak
ingin belajar bisnis. Aku tak ingin ada di sekolahku. Aku ingin belajar di
sekolah art, yang lebih bebas. Sekali
lagi, huppfh tapi mau bagaimana lagi,
keluargaku, salah satu pewaris Shinsegae, Perusahaan jaringan bisnis mall dan Starbucks
korea mengharuskan anak-anaknya untuk belajar “dengan bangganya“ di sekolah
prestigious. Karena mau tidak mau, perusahaan ini juga akan jatuh ke tangan
kami.
“ Lee
Hana…..”
“………”
“Lee
Hana..”. Aku kaget, ada yang memanggilku sembari menepuk bahuku.
“ Mwoyaaa… (ihh, ekspresi kurang nyaman)”.
Rengekku. “Kenapa Laura?”
“ Down to Earth girls”. Laura duduk
didepanku. “ Kamu ntar malam rencana kemana?, ga pengen ikutan tah?, ke
MBC Gayo?. Rumahmu dekat dengan venue
konser ntar lo “
“Emm,,,” ku
ketuk-ketukkan telunjukku di meja. “ Kayaknya ndak deh. Aku nda ada tiketnya
dan belum reserve tiket. Bukankah
masa pembelian udah ditutup?”
“ Yah-.. Hana. Bukannya tinggal menghubungi
koneksi keluargamu and ba-ram-bam…
tiket sudah di tangan, bahkan mungkin kamu bisa langsung masuk. Shinsegae gitu loh…”. Celoteh Park Mi
Sun dari kursinya.
Aku mengernyitkan
alisku. Hmm, bagitulah yang selalu di benak teman- temanku. Menjadi pewaris
perusahaan besar sama dengan bisa mendapatkan apa saja yang di mau. Meski,
sebenarnya begitulah faktanya.
“Nggak–ah. Nggak minat. Disana
yang ada hanya teriakan. Aa—aaaa.. Oppa…, uri Oppaa Jjang”. Nah, kalo
katanya Halyu Wave sedang diminati di dunia, ini malah tidak berlaku bagiku.
Terlalu bising.
“ Yah, Hana. Kamu sih, belum tau, Besok itu
hanya waktu bebas kita. Cuma sehari. Habis itu kita akan kembali ke Hometown (sebutan untuk masing2
departemen di sekolah) kita ini…”. Laura meninggalkan tempatku, kembali ke kelompoknya
Mi Sun.
Satu per
satu, teman-temanku mulai memasuki kelas, dengan buku bertumpuk di tasnya.
Dan Bel
tanda jam sekolah di mulai berbunyi. Oh, God…,
dimulailah 15 jam petualangan dengan Daewon - ku. Hupfh,.
Klik. Setelah, setengah jam perjalanan dari sekolah, Akhirnya aku
memasuki wilayah Cheongdamong Lux Area ,rumahku yang terletak di Chendamdong,
di Gangnam-gu, Seoul. Mobilku berhenti di depan rumah nomor 32. Itulah rumahku.
Kulihat Channel, si jam tanganku, sudah jam 11.45 malam.
Jong Min
sshi, Sopir pribadiku membuka kan pintu untukku. “ Agasshi (Nona), tuan dan nyonya tadi menitipkan pesan bahwa malam
mini mereka tidak akan pulang ke rumah. Karena mereka sedang menghadiri new year’s eve di Macau”
Aku hanya
menganggukkan kepalaku. Sejak kapan
mereka tahun baru ada di rumah?. Pikirku. Dan sejak kapan pula mereka bakal menyapaku
ketika aku pulang dari sekolah?.
“ Selamat
datang Nona Hana…”. Sapa Bibi Hye Sung, kepala asisten rumah tangga di rumahku.
Ada 9 orang dibawahnya plus 3 gardener dan 3 sopir untuk Umma, Appa, dan untuk
aku. Bersama 15 orang itulah aku hidup sejak bayi. Dan yang menjadi Umma
keduaku sejak kecil adalah Bibi Hye Sung.
“ Nona,
makan malam dulu. Kami sudah siapkan..”
Aku menoleh
ke Bibi Hye Sung lalu ke meja makan yang telah penuh dengan makanan dan
buah–buahan. Tapi, entah mengapa tak ada selera makan dalam diriku. Namun,
melihat bagaimana ketulusan Bibi Hye Sung dan Bibi-bibi lainnya, tak tega jika
aku harus menyia-nyiakan usaha mereka.
“ Iya, Bi.
Aku mandi dulu. Bi Hye Sung dan yang lain silahkan istirahat saja. Seperti
biasanya”. Ku paksakan senyum. Lalu aku menaiki tangga menuju kamarku. Di
kejauhan mulai terdengar hingar bingar merayakan tahun baru. Aku ke Balkon
kamarku yang lumayan luas, Seoul tak ada bintang hari ini.
Hangatnya
air mandi lumayan menyegarkan kepenatan dalam diriku. Seoul sangat dingin hari
ini, aku harus memakai baju dan jaket rangkap untuk menghangatkan diriku. Thermometer ruanganku menunjukkan -5oC.
Aku melihat
ke makanan didepanku. Menu utama hari ini adalah seafood. Ada Beansprout and Prawn Soup kesukaanku, Stir Fried Kimchi, beberapa seafood
lainnya dan buah serta Hot Chocolate yang sangat cocok dengan Winter.
Di luar
dentuman bunyi kembang api sudah mulai terdengar. Kulihat jam dinding, sudah
menunjukkan pukul 12 malam lewat. Hari ini sudah 2014.
“ Selamat
makan Nona… apakah ada yang lain yang Nona inginkan?”. Tanya Bibi Hye Sung
dengan senyum tulusnya. Dibelakangnya ada Bibi In Ha, Bibi Jang Sil, dan Bibi
Seul Hwa. Mereka bertiga di bagian Food
and Drink di rumahku.
Duh, betapa aku
menginginkan pertanyaan itu datang dari Umma atau Appa. ”Aniyo, (tidak). Ini sudah cukup”. Kuminum
hot chocolate favoriku, lumayan mendamaikan batinku. “ Ohya, Bibi katanya mau
ada New Year party dengan maid yang lain?, silahkan Bi. Aku makan sendiri saja”
. Sebenarnya menurut protocol rumah tangga di rumahku, mereka harus menemani
aku makan. Tapi, aku tahu mereka sudah capek mengurusi rumah yang sangat lebar
ini. Jadi, aku tak pernah mau untuk mereka temani.
“Iya Non.
Kami permisi dulu..”
Aku
anggukkan kepalaku. Kalaupun mereka meninggalkan aku sendiri di rumah ini, tak
apa. Perumahan ini memiliki tingkat keamanan yang sangat ketat. Belum lagi
rumahku dengan tingkat security yang canggih.
Aku mulai
mencicipi beansprout and prawn soupku.
Seenggaknya meskipun aku tidak mau untuk makan nasi, kucoba habiskan soup dan
sedikit kimchi. Sambil menggigit prawn,
Kulihat sekeliling ruanganku. Kosong, sepi. Yang terdengar hanya suara konser
yang diadakan di dekat rumah. Andai saja 2 oppa-ku (Oppa : kakak. Panggilan
dari perempuan untuk laki-laki yang lebih tua) tidak sekolah di Harvard dan
Columbia University, pasti rumahku hari ini rame. Han Soo Oppa… Han Ki Oppa…. I am alone. Again.
Perasaan ini
datang lagi. Perasaan sepi. Perasaan kosong. Seakan-akan di dada ini ada
sesuatu yang kosong dan tidak utuh. Tetapi ketidak utuhan itu malah membuat
sesak. Membuatku tak tahu apa yang harus aku ekspresikan. Perasaan ini
menginginkan sandaran tempat aku bergantung. Tetapi, siapa kali ini yang akan
menjadi sandaranku. Perasaan ini membuatku bingung. Sepi, benar-benar kesepian
aku. Dan rasanya aku ingin menemukan sesuatu yang bisa setiap saat ku jadikan
sandaran. Sesuatu yang sangat-sangat bisa diandalkan. Aku tidak tahu itu apa…
Tak terasa,
ada bulir air mata yang terjatuh. Oppa…..
Aku sangat kangen dengan mereka berdua. Mereka berdua adalah pengganti umma dan
appa-ku. Meskipun, aku tahu kasih sayang Umma dan Appa tak pernah tergantikan
oleh apapun. Hanya saja, aku tak pernah tahu bagaimana bentuk kasih sayang itu.
Aku hanya tahu orang tuaku sayang denganku dengan bukti mereka mau untuk
melahirkan aku ke bumi. Aku tahu, mereka sayang padaku melalui uang yang selalu
mereka berikan dan materi lainnya. Rumah, Mobil, kepuasan materi, uang bulanan
yang bahkan lebih dari sangat cukup, sekolah prestigious, kemudahan mendapatkan
apapun. Kecuali satu, perhatian Umma dan Appa. Itu yang sangat sulit untuk ku
dapatkan.
Dinner ku
sudah selesei. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Dentuman bunyi
kembang api masih terdengar jelas di luar. Aku berhenti di depan kolam renang. Tak
ada salahnya aku menikmati udara di sekitar kolam renang dulu. Aku sangat
penat. Sembari melihat kerlip kembang api di langit seoul yang gelap. Riak
air kolam yang tenang dan bening, serta hijaunya tetumbuhan di sekitar kolam
renang, menyegarkan mataku. Sedang di langit, terlihat cahaya warna-warni
kembang api.
Tapi, tidak
dengan hatiku…., ada yang kosong. Dan kekosongan ini, perih sekali…
******
Hari itu
adalah hari uang tahunku yang ke-8. Shilla hotel, hotel mewah di pusat kota
Seoul menjadi pilihan orang tuaku untuk merayakan ultahku. Masih terbayang
jelas dalam benakka bagaimana mewahnya pestaku saat itu. baju yang dipesan
khusus dari designer ternama. Lee Seung Gi, yang saat itu menjadi idol, menjadi MC ulang tahunku. Badut, sulap dan
atraksi khas anak-anak lain turut memeriahkan ulang tahunku. Kue Brownis Tart
coklat dan strawberry bertingkat 8 sebagaimana permintaanku berada di atas
panggung elegan yang didesain serba putih dan pink. Ruangan yang bertabur gelas
Kristal, kursi dan meja yang ditata dengan elegannya untuk ketgori anak-anak
orang kaya. Karpet merah yang disipakan dari lantai 1. Padahal acara ini
diadakan di lantai 23, puncak Shilla hotel. Betapa bahagianya saat itu, karena 2
oppa-ku yang berada di kanan dan kiriku yang setia menjagaku, menunggu hingga
pesta bisa dimulai.
Jarum jam
sudah menunjukkan pukul 7 malam. Seharunya pesta sudah bisa dimulai jam 5 sore.
Para tamu mulai gelisah. Karena mayoritas mereka adalah anak-anak seusiaku,
ruangan sudah mulai dikacaukan oleh tingkah mereka. Para nanny mereka mulai
kebingungan untuk menenangkan mereka. Bahkan ada yang membuat ruangan itu
menjadi lapangan arena berlari-larian. Hamper saja aku yang berada di dekat kue
tart ditubruk oleh mereka dan menganai kue tart tingkat 8, kalo saja tak ada
Han Ki Oppa yang menghalangi anak-anak sebayaku itu. kenapa pesta itu belum
dimulai, padahal undangan sudah hampir datang semua?. Karena sang pemilik acara
belum hadir. Ya, umma dan appa-ku lah yang ditunggu. Mereka, saat itu sudah
berjanji untuk hadir di ultahku. Dan –saat itu- aku percaya mereka.
Setelah
menungu hingga 30 menit tak ada kabar dari orang tuaku, karena mereka juga
telah dihubungi oleh bibi Hye Sung dan Jong Min Ajusshi tak ada jawaban,
akhirnya pestaku terpaksa dimulai. Saat itu, hatiku sangat hancur. Aku tidak
tahu bagaimana mendeskripsikannya. Aku saat itu hanya mengikuti langkah kaki
dan gandengan tangan Han Ki Oppa dan Han Soo oppa yang membimbingku. Bahkan
saat memotong kue, merekalah yang menggerakkan tanganku. Aku sudah tak tahu
lagi bagaimana mengkespresikan kekecewaanku, yang saat itu bahkan aku masih
usia 8 tahun.
Setelah potong
kue, aku langsung melarikan diri dari ruangan yang membuat hatiku semakin sesak
itu. Aku berlari hingga aku tidak tahu dimana. Saat itu, meski masih anak-anak,
aku tidak tahu mengapa. Aku merasakan sakit hati yang luar biasa karena
dikecewakan orang tuaku. Aku sudah berharap besar bahwa orang tuaku akan hadir.
Aku sudah 6 bulan tidak bertemu mereka bahkan dengan bayangan mereka. Saat itu
yang kupikirkan adalah aku hanya ingin
kado terindah dan terspesialku adalah bisa melihat orang tuaku dan mendengarkan
mereka mengatakan cintanya padaku. Tapi, itu semua hanya imajinasi di usia
8 tahunku saja. Tak ada kata yang bisa keluar dari diriku yang bisa
mengekspresikan rasa sakitku itu. Mungkin sakitnya seperti ketika kakiku
terpeleset, keseleo ketika aku mengikuti kursus fashion saat belajar jalan yang
elegan yang membuatku tidak bisa jalan hingga 1 bulan dan harus di gips. Tidak,
bahkan lebih dari itu. sakit itu ada di dada. Yang membuat dadaku sesak, hingga
kepalaku terasa berat dan ada energi yang harus ku luapkan keluar, tapi sekali
lagi aku tak bisa. Dan saat itu, aku hanya terdiam. Aku ingin menangis, tapi
tak mampu air mataku keluar.
Setelah
beberapa lama aku berada di area bersalju, di kejauhan kulihat 2 Oppa-ku yang
berlarian kearahku. Mereka langsung memelukku. Di saat itulah aku melihat dan
menyaksikan 2 Oppa-ku menangis. Kami, bertiga berpelukan. Hanya kehangatan
pelukan kami bertiga yang bisa menjelaskan bagaimana perihnya hati kami. Di
kejauhan kulihat Bibi Hye Sung dan Jong Min Ajusshi menghapus air mata mereka.
“Oppa…..,
apakah salah jika aku menginginkan Umma dan Appa hadir?. Aku kangen mereka
Oppa…..”. aku berbisik, kami masih berpelukan.
“Enggak..”.
Balas Han Ki Oppa.
Setelah
adegan berpelukan itu, kami bertiga pulang. Dan ketika di rumah itulah aku
mendapati kado terpahit dalam hidupku.
Umma dan
Appa dirumah. Mereka menanti kami bertiga di ruang tamu dengan seorang Imo
(Tante) dan Samcheon (Paman). Dan ternyata…mereka adalah kekasih Umma dan Appa.
Umma dan Appaku menjelaskan kepada kami bertiga masing-masing dari mereka telah
memiliki kekasih. Karena mereka dulu menikah bukan karena keinginan, tetapi
karena dijodohkan. Meskipun begitu, mereka tetap setuju untuk menjaga
pernikahan mereka. Karena mereka butuh image untuk menjaga Shinsaege.
Saat itu, 2
hanya terdiam. Mereka langsung mengajakku ke kamarku. Dan disanalah, kami
menangis bertiga. Aku menangis karena melihat 2 Oppaku yang memelukku dengan
menangis. Dan aku, 8 tahun saat itu masih belum menyadari apa maksud perkataan
kedua orang tuaku, yang setelah aku berumur 13 tahun, baru aku ketahui bahwa
keluarga kami telah retak..dan itulah yang membuat 2 Oppaku menangis kala itu….
Salju diluar pun turun dengan begitu derasnya. Sederas air mataku dan 2 Oppaku.
Rabu,090414 05:37 | HD
***
Salju
masih turun dengan pelannya. Membuat suasana tahun baru korea semakin indah dan
elegan. Aku terus berjalan. Hingga aku baru sadar, aku sudah sampai di Seoul Subway
Station Line 2. Tujuan yang tak pasti membuatku bingung harus kemana. Akhirnya
terbesit dalam benakku, Itaewon. District yang penuh dengan turis
internasional dan area yang penuh dengan kesenangan. Sepertinya memang aku
harus mencari sedikit refreshing untuk kepenatanku. Aku tak ingin terjebak
dengan kesedirianku disini.
Perjalanan
dari Seoul ke Itaewon hanya butuh
waktu 5 menit. Begitu sampai di Itaewon
Station, kini giliraku yang kebingungan mau kemana. Banyak turis berlalu
lalang kesana kemari. Nampaknya mereka juga sedang menikmati liburan.
Hupfh.., hidup
tanpa tujuan itu memang sungguh tak mengenakkan. Dan itulah yang terjadi
padaku. Sebagus apapun hasil yang kucapai akan suatu hal, aku tak pernah puas.
Entah karena aku senantiasa menginginkan perhatian orang tuaku atau karena apa.
Yang, jelas aku tak ada gambaran jelas tentang kehidupanku ini. Aku ingin ini
dan itu hanya butuh menggesek credit card
unlimitedku. Aku tak tahu untuk apa aku sekolah. Bahkan aku tak tahu apa
tujuanku dalam kehidupan ini. Kenapa aku ada? untuk apa aku ada?...
Kini
aku sampai di tengah2 Itaewon. Turis-turis
masih berlalu lalang, mayoritas dengan backpacknya.
Karena hari ini libur, jalanan Itaewon
lebih rame dari biasanya. Distrik ini memang terkenal di kalangan orang luar
negeri, bahkan daripada korea selatan itu sendiri. Aku sempatkan mampir membeli
hot chocolate di stand minuman terdekat.
Dari
tempatku berdiri kini aku bisa melihat orang lalu lalang, bercakap-cakap dan
menikmati salju di Itaewon. Ada
sebuah bangunan yang menonjol, terlihat sebuah kubah yang menonjol daripada
bangunan lainnya yang lebih rendah. Mereka menyebutnya Seongweong (Mosque). Tempat ibadah bagi orang islam. Aku sendiri
juga tak tahu islam itu apa. Sebenarnya, setiap kali aku ke Itaewon, aku penasaran dengan bangunan
ini karena bangunan ini begitu menonjol dibandingkan dengan bangunan
disekitarnya. Kenapa hanya orang-orang
tertentu saja yang memenuhi seongweong
ini?. Kenapa para turis asing itu tidak mencoba memasuki seongweong ini?. Padahal, hamper semua dari mereka menjelajahi seluruh tempat di Itaewon.
Aku pandangi kubah masjid itu, tak ada yang
special. Tetapi katanya teman-temanku bangunan ini adalah tempat sakral bagi
orang islam. Seperti kuil bagi orang budha mungkin?. Aku mendekat kearah seongweong. Bangunan ini bentuknya aneh
daripada bangunan khas korea. Bentuknya berkubah dengan cat warna putih. Dan ada
tulisan arab didepan pintu masuk masjid ini yang harus melewati tangga. Kenapa
nama masjid ini tidak memakai Hangeul?.Aku mendekat lagi ke Seongweong ini, kini aku sudah berada di
depannya. Sebenarnya apa arti bangunan
ini?. Ada beberapa laki-laki yang memasuki masjid, mereka melepaskan sepatu
mereka. Laki-laki yang memakai pakaian panjang menyerupai hanbok, tetapi hanya
1 warna, putih – itu apa? - dan
perempuan yang memakai topi?, atau penutup rambut?, yang tadi berjalan bersama
berpisah menuju pintu yang terpisah di lantai dasar masjid, yang sebenarnya
lantai 2, dalam asumsiku.
Aku
duduk di kursi depan masjid. Mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang
mereka lakukan. Aku pandangi masjid itu lagi.
Deg,,,
Rasa
itu, rasa aman itu…… Ada sebuah chemistry yang menarikku dan menenangkan
hatiku. Chemistry itu menjadikan aku merasa aman dan terlindungi. Melihat
masjid didepanku, memberiku kehangatan yang menyelimuti. Perasaan tenang
melihat masjid itu menjadikan ku tak mampu melepas menatap tajam masjid di
seberang ku itu.
Melihatnya
bagai mendapatkan kasih sayang yang akan menjadikan seseorang terjamin bahwa
dia akan selamanya mendapatkan kehangatan itu. Kasih sayang yang senantiasa aku
rindukan dan ingin aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Tidak, bahkan lebih
dari itu. Ada sebuah aliran dalam diriku yang kurasakan berusaha menyentuh
setiap sarafku dan menenangkan setiap saraf yang disentuhnya. Rasa ini,
ketenangan dan kehangatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya, begitu
menenangkan batinku.
Mataku
masih memandangi masjid di depanku. Tiba-tiba ada suara dari masjid yang
berbunyi. Suara apa itu?. suara itu berasal dari pengeras suara yang ada di
masjid itu. dan setahuku ini bukan bahasa korea, tetapi bahasa arab.
Allahu Akbar – Allahu Akbar..
Allah,
Allah… apa atau siapa itu?, mereka sedang mencari seseorang atau mengumumkan
sesuatu?. Kenapa hatiku berdebar dan bergetar mendengar sebutan Allah?.
Kupandangi tanganku dan keduanya bergetar. Ada apa ini?.
Allahu Akbar-Allahu Akbar..
Ada
apa ini?, kenapa air mataku keluar.
Allah?.
Apa dan siapa itu?. Tak kurasakan air mataku sudah keluar dan tak bisa
kuhentikan. Berikutnya aku telah sesenggukan.
Kulihat
disekitar, sepertinya orang lalu-lalang mulai melihat keanehanku. Aku segera
berlari ke arah masjid itu, yang kini sedang dimasuki oleh laki-laki dan
perempuan yang berpakaian aneh. Sepertinya bukan berasal dari Korea.
Allahu Akbar.. Allahu Akbar…
Tangisku
sudah tak bisa kukendalikan. Ada apa ini?. aku kenapa?. Ada yang menyesak dalam
hatiku ketika panggilan Allah itu diserukan, tapi sesak itu seakan memaksa
beban penat dan batinku yang selama ini terpendam keluar. Membebaskanku dari
penjara sakit batinku selama ini. tapi rasa sesak ini tak berhenti. Air mataku
terus mengalir…
“Agasshi, apakah nona baik-baik saja?”.
seorang perempuan, yang aku kira seumur anak kuliahan menghampiriku. Dia
berpakaian aneh juga.
“A-a-an…I
hik-hik- o (tidak). N-ngg-nggak…”.
Aku menjawab dengan tangis sesenggukan.
“Kenapa
anda menangis?. Apakah ada yang menyakiti anda?. Ato anda kehilangan sesuatu?”.
“……”
aku masih tak menjawab. Sesakku dan tangisku masih belum bisa ku kendalikan.
Perempuan
tersebut mengajakku duduk di tangga masjid. Kemudian dia memberiku sebotol
minuman mineral. “ Minumlah dulu. Biar lebih tenang”.
“Teri-Ma..Ka—sih”.
Dengan sesenggukan ku ambil minuman tersebut.
Setelah
meneguk air segar dan aku bisa menenangkan diriku. Kini suara di pengeras itu
telah terhenti. Entah apa ini, aku merasakan ketenangan yang luar biasa ketika
aku mendengar suara tadi. Mungkin Unni
(Kakak) di depanku ini tahu apa maksudnya suara tadi. Karena dia berpakaian
seperti kebanyakan perempuan yang memasuki masjid ini.
“Unni…?”.
Dia
tersenyum, dengan senyuman yang tulus yang memancarkan kehangatan bagi siapa
yang menerimanya. “ Nama saya Aila Kim. Panggil saja Aila. Kamu?”. Aila Unni mengulurkan tangannya.
“Saya
Lee Hana, Hana”.
“Emm..Unni, boleh saya tanya sesuatu?”. Aila Unni mengangguk.
“Tadi,
suara dari sana..”, Aku menunjuk pengeras suara yang ada di pojok atap masjid,
“ Suara apa itu Unni?”
“Oh,
itu namanya adzan Hana. Bentar, kalo boleh Unni
tahu Hana punya kepercayaan?”
Aila
Unni pelan2 menanyaiku. Topic
kepercayaan atau agama memang agak sensitive disini. Karena banyak dari orang
korea yang tidak beragama ato tidak percaya Tuhan.
Aku hanya menggelengkan kepalaku, Aku tidak tahu agamaku apa. Aila Unni tersenyum. Seingatku aku tidak
pernah ke kuil atopun ke gereja selama ini, begitu juga keluargaku.
“Adzan
itu tanda panggilan bagi kaum muslim untuk menyeru mereka sudah saatnya sholat.
Sholat itu sendiri adalah cara kita beribadah atau menyembah kepada Allah.
Tuhan kita, Umat Islam…”
Ketika
Aila Unni menyebut nama Allah, ada
ketenangan di hatiku. Apa yang dijelaskan Aila Unni masih sangat asing bagiku. Dan tapi anehnya menarikku untuk
semakin mengetahuinya.
“Mungkin
Hana masih belum banyak mengetahui tentang islam. Tapi yang jelas, kalo Hana mau tahu lebih lanjut, Unni bisa bantu…”
Aku
mengernyitkan dua alisku, tanda aku sedang mencerna apa yang disampaikan oleh
orang yang baru ku kenal ini,,
“Oh,
maksudnya Unni, bukannya Unni mengajak Hana ke yang aneh-aneh...”,
seakan-akan mengetahui aku sedang berpikir, Aila Unni segera menyela, “Tapi,
di masjid ini memang biasanya rutin ada orang yang pengin belajar islam. Dan kami juga menyediakan fasilitas bagi
siapa saja yang ingin mengetahui tentang islam. Jadi, kalo Hana mau tahu lebih
lanjut, boleh nanti kita ngobrol”. Aila Unni
mengakhiri penjelasannya dengan senyuman yang membuatku bisa merasakan
ketulusannya. Hidup ditengah keglamoran membuatku disapa dengan senyuman palsu
orang-orang kaya gila harta itu. Jadi, ketika ada yang tersenyum tulus padaku,
aku bisa merasakannya.
Aku
diam sejenak, mencoba meresapi apa yang ditawarkan oleh Aila Unni. Aku pandangi tulisan arab di pintu
masuk masjid ini, disitulah aku mantap untuk mengetahui tentang islam. “Em, Unni, boleh Hana minta Nomor Unni? Ato Ka-Talk (Kakao Talk)?”
“Boleh
Hana, dengan senang hati”. Kami kemudian saling bertukar nomor dan Pin KaTalk.
“Ohya
Hana, forum yang Unni bicarakan tadi
rutin diadakan setiap hari minggu. Mulai jam 8 hingga siang jam 1an. Nanti kalo
Hana mau ikut, Hana hubungi Unni saja
ya”
Aku
mengangguk. “ Unni, kalo boleh tahu Unni masih belajar dan tinggal dimana?”
Aila
Unni kembali tersenyum, senyuman yang
membuatku merasa sangat dihargai olehnya. “ Unni
kuliah semester 4 di Seoul University. Dan Unni
tinggal di Dorm di sana”
Aku
membelalakkan mataku. Siapa siswa sekolah khusus akademik di Korea yang ga ingin ke Seoul University, salah satu
kampus unggulan Korsel.
“Hana
juga ingin kesitu?”
Jujur,
aku tak tahu kemana destinasiku setelah nanti lulus dari Daewon. Aku hanya
tersenyum pada Aila Unni.
“Oh,..” seakan mengerti kondisiku, Aila Unni menepuk-nepuk punggung tanganku,
tanda memberi dukungan.
“Hana,
Unni mau masuk ke dalam dulu. Ini
waktunya bagi kami, umat islam untuk sholat. Tadi sudah dipanggil kan?. Unni sholat dulu. Hana mau kemana
setelah ini?”
Tidak tahu. “Oh, Aku
mau pulang Unni…Unni masuk dulu saja ke masjid. Nanti Hana segera hubungi Unni”
“Oke,
hati-hati ya Hana. Semoga kita dipertemukan kembali”. Aila Unni menjabat tanganku lalu masuk ke masjid dengan senyuman tetap
tersungging. Duh, damainya hidup Aila Unni.
Senyuman selalu menghiasi wajah damainya.
Aku
menatap masjid itu lagi, tepatnya pada huruf arab yang terukir di pintu masuk –aku tidak tahu apa bacanya- . Tak terasa
ada senyum yang terukir di wajahku.
Aku melangkah menuruni tangga masjid
ini. Ada perasaan ringan dan beban yang
terangkat. Beban yang begitu lama menggelayuti hati dan pikiranku. Tapi, aku
sendiri juga bingung untuk menyebutkan pikiran dan beban macam apa itu. yang
jelas, aku bahagia dan senang berada di masjid ini. Dan untuk pertama kalinya
aku tahu tujuanku.
Belajar
islam. Segera.
******
Jam
sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tinggal
sejam lagi self study akan selesei. Hari ini hari sabtu. Aku sudah tidak sabar
untuk menanti datangnya hari minggu.
Sudah
seminggu ini sejak aku berada di masjid Itaewon
bersama Aila Unni. Selama itu aku
selalu berhubungan dengan Aila Unni. Sunguh
sangat mengenakkan berkomunikasi dengan Unni.
Aku juga jadi tahu banyak tentang islam. Selama di sekolah aku selalu
menyempatkan untuk membaca e-book
tentang islam yang dikirimkan oleh Aila Unni.
Dari e-book itulah aku tergambar
bagaimana islam itu.
Pelan-pelan,
aku tahu apa itu islam. Sebuah agama, eh
bukan tapi juga aturan kehidupan yang berasal dari Allah. Semua aturan
kehidupan ada di islam. Dan seharusnya memang dilaksanakan oleh seluruh ciptaan
Allah. Dan, aku tahu sekarang, Allah itu adalah pencipta seluruh manusia yang
mengetahui bagaimana manusia itu sebenarnya. Sekarang ketika aku menyebut nama
Allah ada rasa tenang yang luar biasa dalam diriku. Yang mungkin seminggu lalu
aku masih bertanya-tanya sebenarnya Allah itu apa dan siapa –ketika aku
mendengar adzan di masjid Itaewon-.
Allahlah yang menciptakan aku dan keluargaku dan seluruh apa yang ada di dunia.
Dan islam itu sangat banyak yang dipelajari. Tapi itu justru yang membuatku
bersemangat untuk mempelajarinya.
Inilah
untuk pertama kalinya aku tahu tujuan aku diciptakan, aku tahu aku diciptakan
untuk mengabdi pada Allah dan hidup di dunia sesuai aturanNya –yang tidak akan
pernah menyakiti atau mendustai manusia, karena dia tahu yang terbaik-. Inilah
untuk pertama kalinya aku mengerti kenapa aku hidup. Aku merasa menemukan
hidupku yang baru. Hidup yang selama ini aku cari-cari. Aku sangat senang bisa
dipertemukan dengan islam dan bertemu Aila Unni
yang selalu mampu menmbuatku nyaman dan senang dengan jawaban-jawaban yang dia
berikan atas pertanyaan-pertanyaanku.
Mungkin
aku masih baru mengenal islam, jadi banyak pertanyaan-pertanyaan simpel yang ku
ajukan pada Aila Unni. Sholat, itu
apa, Zakat, Puasa dan mengapa puasa?, kenapa harus menutup seluruh tubuh,
kenapa islam terlihat eksklusif.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bisa Aila Unni
jelaskan melalui video chat yang
senantiasa kami lakukan setiap aku pulang dari sekolah. Jam 12 malam. Aku juga
kadang merasa aneh, mengapa tak ada kelelahan dari diriku ketika aku belajar
islam. Tak ada kata menyerah, atau capek yang terbesit dalam benakku ketika aku
belajar islam dan membaca setiap materi dari e-book yang dkirimkan oleh Aila Unni.
Semua ini sangat berbeda ketika aku belajar untuk sekolahku atau ketika aku
beraktivitas lainnya. Aku tidak tahu orientasiku akan kemana dan mengapa aku
melakukan aktivitas tersebut.
Dan
sekali lagi, aku sangat merasakan perbadaan ketika aku belajar islam dan
mempelajari apa yang harus aku lakukan dan apa yang tidak boleh ku lakukan.
Ya,
aku mau dan akan menjadi muslim segera. Sempat terpikir dalam benakku mungkin
aku akan menemuai berbagai macam kesulitan yang akan kuhadapi. Orang tuaku, dua
Oppaku, teman-temanku, keluarga
besarku, dan orang-orang disekitarku dan terlebih lagi posisiku sebagai salah
satu pewaris perusaan kelas atas di KorSel ini. Tapi semua itu akan segera
hilang dari diriku ketika ku desiskan nama Allah. Ada kesejukan – aku tidak
tahu menyebutnya bagaimana- di dadaku, seperti ada embun yang mengaliri aliran darahku
hingga menjadikan aku tenang dan rileks kembali.
Aku
harus siap. Setiap yang dijalani manusia akan ada resikonya. Dan meskipun aku
tahu baru sedikit, akan ada surga dan neraka yang menjadi pembalasan bagi
perbuatan manusia.
Mungkin
aku belum tahu banyak tentang islam.., aku mungkin belum tahu hingga sampai
bagaimana islam katanya dulu pernah berdagang dengan orang-orang korea. Tapi,
dengan pengetahuanku yang sedikit ini aku akan terus berusaha melapangkannya.
Dan
aku yakin, sangat yakin. Aku akan dan harus menjadi seorang muslim. Segera.
***
Spring, 23 Maret…Pukul 05.00 pagi
Musim semi,
Cherry blossom (sejenis sakura-nya korea) mulai bermekaran. Aku menyusuri jalan
menuju ke Masjid Itaewon. Sudah
hamper 3 bulan aku belajar tentang islam. Ada banyak yang tidak aku mengerti
tentang islam yang membuatku harus berlama-lama di untuk belajar tentang islam.
Terlebih lagi aku tidak tahu sama sekali tentang huruf arab. Hurufnya
Al-Qur’an, petunjuk manusia dari Allah. Jadi selama 3 bulan ini akubenar-benar
belajar ekstra keras untuk memahami islam dan ajarannya. Agar ketika aku
menjadi muslim benar-benar mampu menjadi muslim yang utuh. Meski untuk itu aku
juga harus berkejaran dengan ujian akhir High Schoolku dan Try out Ujian masuk
kampus internasional di luar korea –yang memang diselenggarakan setiap tahun
oleh Daewon-. Berat memang, capek dan lelah. Tapi, ketika aku mempelajari
islam, cukup menjadi penghilang penat dan lelahku.
Tiga bulan kehidupanku ku lalui
berbeda dari biasanya. Meski mengenai keluargaku, masih sama. Umma dan Appa
baru pulang sekali dari tahun baru, itu pun hanya sehari. Dua oppa-ku yang
masih betah di kampusnya daripada pulang ke korea. Sekolah yang terus menekan
kami menjadi orang-orang dengan nilai unggulan minimal 98 di setiap mata
pelajaran. Yang berbeda adalah ada tujuan yang jelas yang ingin aku capai yang
membuatku semakin semangat belajar islam.
Aku
kini telah sampai di depan masjid Itaewon.
Di tangga yang 3 bulan lalu aku memandangi huruf arab yang terukir di atas
pintu masuk. Allahu Akbar, Allah Maha Besar. Kini aku sudah membacanya dan aku
sudah lega.
“Assalmualaikum..”.
aku masuk kedalam masjid. Ada 10 orang yang menungguku. Mereka adalah
orang-orang yang selalu membantuku untuk belajar islam. Diantaranya ada Aila Unni.
”Alaikumussalam..”.
Aila Unni menyambutku dengan pelukan
penuh haru. Ada kebahagiaan yang terpancar dari mata aila Unni.
Setlah
menunggu kira-kira 10 menit, aku berhadapan dengan seorang Seongsaengnim, atau
Ustadz. Kupejamkan mataku dan kutoleh ke kananku, ada Aila Unni disana. AIla Unni
mengangguk, aku pandangi tulisan Allah diatas tempat imam. Bismillah…
“Asyhadu An Laa Ilaaha
Illallah..Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah
Aku bersaksi tiada Sesembahan
selain Allah dan Aku bersak si bahwa hanya Muhammad sebagai Utusan Allah.. “
Aku
tidak tahu mengapa air mataku pecah dan aku segera memeluk Aila Unni yang ikut terharu juga. Samar-samar
aku mendengar beberapa orang yang hadir di masjid ini meneriakkan takbir.
23
Maret 2013. Me, Lee Hana being a muslim. Dan inilah perjalanan terindah dalam
hidupku yang pernah ku lalui. Selain terlahirnya aku ke dunia ini..
Rabu,090414 05:37 | HD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar